TEMPO.CO, Yogyakarta - Perempuan petani bercaping menggendong wadah berbahan bambu berisi keripik rumput laut, wajik, tiwul, ketela rambat rebus, dan gembili rebus. Mereka membagi-bagikan makanan itu ke pengguna jalan di kawasan Tugu Yogyakarta.
Sayur mentah kenikir, kacang panjang, gambas, terong, setandan pisang, jagung, dan padi menemani mereka. Ini adalah aksi damai perempuan petani bersama aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta dan berbagai organisasi non-pemerintah memperingati Hari Pangan Dunia atau World Food Day, yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober.
Aksi itu mengajak masyarakat untuk mencintai pangan lokal atau pangan yang bersumber atau ditanam dari lingkungan sekitar. Petani bersama aktivis mengenakan baju lurik, batik, dan kebaya. Petani yang datang sebagian berasal dari Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Bantul.
Mereka adalah perempuan petani yang menanam beragam pangan lokal di desa itu. Selain padi dan tanaman palawija, mereka menanam umbi-umbian seperti gembili di pekarangan. Beragam sayur sehat menggunakan pupuk kandang juga menjadi sumber pangan mereka.
Ketua Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, Bonnie Kertaredja, mengatakan kampanye pangan lokal penting di tengah gempuran makanan pabrikan, yang mengandung bahan kimia. “Kami mengajak orang untuk tidak bergantung pada makanan impor. Pangan lokal melimpah,” kata Bonie.
Dia mengatakan Solidaritas Perempuan setidaknya mendampingi 300 lebih petani perempuan di Kabupaten Bantul dan Sleman. Tujuannya adalah untuk membuat perempuan petani menjadi mandiri dan berdaulat atas pangan yang mereka produksi. Mereka punya lumbung pangan untuk menjaga ketersediaan makanan.